Jadilah Orang Yang Keras Kepala
Dua begawan Donald Trump dan Robert
Kiyosaki sempat wanti-wanti, baik dalam kehidupan sehari-hari, bisnis,
investasi, karya maupun bidang lainnya, kita mesti berpikir untuk
menang, bukan sekedar tidak kalah. Terkait itu, saya sreg sekali dengan
General Electric (GE) -perusahaan terbesar nomor dua di dunia. Berawal
pada tahun 1876, mengandalkan kekuatan teknologinya, GE kemudian
merambah peralatan rumah tangga, lampu listrik, finansial, mesin jet
pesawat, pembangkit nuklir, dan lain-lain.
Lantaran seradak-seruduk di
segala lahan, mulai dekade 1970-an GE menjelma menjadi raksasa gemuk
yang tidak lincah dan boros. Untunglah, pada tahun 1981 GE dinahkodai
figur luar biasa bernama Jack Welch. Dengan teriakan, "Fix, close,
sell!" ia pun melego 200 anak perusahaannya dan mengakuisisi 1.700
perusahaan lainnya. Kriteria melego atau mengakuisisinya sederhana saja,
menjadi nomor satu atau nomor dua di bidangnya. Apabila tidak, GE akan
melupakan bidang tersebut. Istilah lainnya, memastikan menang, bukan
sekedar tidak kalah.
Saat Jack masuk, nilai GE adalah
US$ 14 miliar. Sewaktu ia keluar 20 tahun kemudian, nilainya meloncat
setinggi US$ 130 miliar. Kalau boleh sombong, tidak ada seorang pun
pemimpin bisnis di muka bumi ini yang sanggup melipatgandakan nilai
seperti itu, selain dirinya. Akhir-akhir ini, GE dinilai sebesar
setengah trilliun dolar dan tahun 2006 merek GE dihargai sebesar US$
48.907 juta. Jadilah GE salah satu merek paling mahal di jagat ini. Dan
ini semua berakar dari filosofi menang, bukan sekedar tidak kalah.
Di tanah air, sedikit-banyak
Ciputra Group, Kem Chicks, dan Astra Internasional juga mengamalkan
falsafah itu. Di segala medan, mereka bertarung untuk menang, bukan
sekedar tidak kalah. Dan percaya atau tidak, pijakan utama untuk
meraihnya adalah dengan menjadi orang yang keras kepala. Tentunya, dalam
artian gigih, bukan ndableg asal-asalan. Tolong di-highlight itu.
Sayangnya, selama ini Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang ramah,
bukan bangsa yang gigih. Kalau Jepang dan Korea, barulah disebut-sebut
sebagai bangsa yang gigih.
Catatlah, baik Ciputra, Bob
Sadino, maupun William Soerjadjaja juga pernah pailit bahkan terbelit
utang. Tidak terkecuali. Setidak-tidaknya pada periode-periode tertentu.
Akan tetapi, mereka sama sekali tidak kepikir untuk balik kampung.
Alih-alih begitu, mereka malah terus maju. Kini, mereka adalah ikon di
jalurnya masing-masing.
Seorang ekonom asal Bangladesh
-Muhammad Yunus- akan menunjukkan kepada kita semua apa yang dimaksud
dengan gigih. Obsesinya ketika itu adalah bagaimana bank-bank setempat
dapat menyalurkan dan mengulurkan kredit kepada warga yang sangat
miskin. Bayangkan saja, banyak di antara mereka mengharapkan pinjaman
berkisar 12.000 rupiah.
Ide yang sangat mulia ini sempat
ia sodorkan ke mana-mana, namun ternyata semua pihak cuma menggelengkan
kepala. Sepintar apapun ia berargumen, tetap saja bankir dan pejabat
pemerintah berdalih, "Orang melarat tidak layak dikucur kredit."
Untunglah, ia termasuk orang yang gigih. Ia tanggalkan dan tinggalkan
cara pandang seekor burung. Alih-alih begitu, ia malah mengenakan cara
pandang seekor cacing, di mana ia berusaha mengetahui apa yang terhampar
tepat di depan mata. Dengan mengendusnya. Dengan menyentuhnya.
Mulanya, ia hanya menjadi
semacam penjamin bagi warga yang sangat miskin. Lama-kelamaan, ia malah
merintis banknya sendiri -tentu saja sesuai dengan konsep yang ia
cita-citakan sedari awal. Namanya Grameen Bank. Tanpa diduga-duga, kini
bank itu berhasil menangani 46.000 desa di Bangladesh melalui lebih dari
1.200 cabang. Atas jasanya yang tidak mengenal lelah tersebut, ia pun
dianugerahi Nobel Perdamaian. Itulah buah dari kegigihan.